Saturday, September 19, 2009

Polri vs KPK

Setelah wanita-wanita itu berjuang menyabung nyawa melahirkan putra-putranya
Setelah tahunan tanpa putus do'a dan harapan
Setelah dekade pengabdian tiada henti, tiada pamrih
Akhirnya hanya membesarkan laki-laki yang tak mampu berjalan diatas nuraninya sendiri
Laki-laki yang melawan kata hatinya
Laki-laki yang memerangi dirinya sendiri
Laki-laki yang tak menyisakan sedikitpun dalam nafas dan darah mereka
Keberanian, keteguhan ibu-ibu mereka

Siapa yang sesungguhnya telah mengkhianati cinta tulus ibu-ibu mereka?
Hanya mereka dan Allah yang tahu

Duhai, betapa sia-sianya darah, air susu ibu dan pengorbanan mulia ...

Friday, September 18, 2009

Menanti Ujung

Gusti, 
Belum lagi selesai kutulis doa ampunanku 
Belum lagi tuntas aku urut semua kezalimanku pada nuraniku, 
pada diriku, keluargaku, temanku, rekan kerjaku 
Yang akan kupersembahkan sebagai hadiah untukMu 
Agar Kau sudi tak berpaling dariku 
Namun, telah datang dihadapanku bayangan senyumMu 
yang menentramkan sanubariku, menghilangkan dahagaku 
yang kubawa kemana-mana 

Ampuni aku karena aku berganti mengucap syukur 
dan meninggalkan doa sesal yang tak tuntas kupanjatkan 

Izinkan aku sekali ini saja
Ditengah gemuruh deras hujan anugerah
Untuk menemukan 
ujung untaian syukurku padaMu 

Friday, March 20, 2009

Doa Malam

Gusti,
Malam ini aku masih terjaga
Tertahan gelisah
Menatap pintu-pintu tertutup
Mencari kesempatan
Mewujudkan impian membangunkan jiwa-jiwa tertidur
Dibuai kegagalan demi kegagalan

Gusti,
Ditanganku tergenggam
Berjuta harapan keberhasilan
Agar barisan tersusun ulang
Dan kerja besar dapat diteruskan

Gusti,
Malam ini aku masih terjaga
Karena percikan RahmatMu
Terkirim dalam pesan sederhana
Berisikan harapan
Agar aku tak pernah mengabaikan lagi
Sejuk rengkuhan tanganMu
Pada kalbu yang senantiasa gelisah
Menunggu akan datangnya hari
Kebenaran janji-janjiMu

Lembutkanlah tangannya
Agar keturunannya menjadi lelaki penyabar
Dalam berjalan mencari cahayaMu
Lembutkan hatinya
Agar suaminya menemukan labuhan
Dari letih menegakkan namaMu
Lembutkan tuturnya
Agar kami temukan keindahan
Dalam untaian kalimat penuh hikmahMu

Sunday, March 8, 2009

Mujahidah

Beberapa hari lalu saya chatting dengan seorang rekan dari tanah sebrang. Ia seorang aktivis sosial seperti saya. Kami diskusi mulai dari kerjaan sampai keluarga, dari mimpi-mimpi yang kita dulu sampai kasus Muchdi PR. Yang paling panjang dibahas adalah posisi 'aktivis wanita', yang katanya sempet jadi bahan diskusi panjang dilingkungan kerjanya.

Masalahnya adalah: ketika sudah menikah dan memiliki putra, rekannya cenderung agak sulit bergerak bebas. Sementara pekerjaan yang mereka geluti itu gak pernah berhenti. Belakangan ini mereka agak keteteran. Serba salah, satu sisi potensi dan skill-nya masih belum selesai ditransfer, sementara cute little baby dan 'cute little baby's father' juga perlu 'pendampingan'.

Butuh waktu yang lama sebelum bisa menguraikan pandangan saya.

Saya kemudian mencoba mengajak dia kembali ke konsepsi awal. Bangunan Islam itu berdiri dengan masyarakat sebagai pijakannya. Masyarakat sendiri akarnya ada di keluarga. Jadi keluarga adalah pondasi Islam. Sedemikian strategis peranan keluarga, hingga Islam mengizinkan hukuman 'paling sadis' dalam sejarah manusia: rajam bagi penzina. Semua karena zina benar-benar tidak menyisakan apapun bagi keluarga kecuali kehancuran.

Dalam keluarga, peran ayah dan ibu berbeda. Ayah sebagai penopang keluarga, ibu sebagai pembentuk karakter terutama anak pada usia -0.5 tahun s/d 13-an tahun. Saya jelaskan bahwa saya pernah membaca jurnal penelitian psikologi yang menyebutkan karakter dan kecerdasan (sosial, intelektual dlsb) seseorang pada masa-masa golden age, 45 thn-an, sangat dipengaruhi input yang diterima dari usia 0 - 10 tahun. Luar biasanya, pada usia 0-10 tahun itu, ternyata peran ibu sangat-sangat-sangat-sangat dominan.

Peran wanita (memang) krusial dalam Islam. Jadi adalah dipahami mengapa Islam 'cenderung' mendorong wanita untuk 'stay home for certain period'. Itu tidak ada hubungan dengan penghormatan pada wanita, pada kesetaraan gender, pada kesempatan yang sama. Tapi dorongan itu untuk pemenuhan fungsi yang tidak mungkin dimainkan oleh laki-laki secara sempurna.

Bagaimana dengan wanita yang berkarier, termasuk rekan aktivis tersebut? Menurut saya pribadi, itulah keunggulan wanita. Selain karena alasan ekonomi, mereka memahami bahwa ada potensi lain yang Allah titipkan yang dapat bermanfaat bila 'dibagikan' kepada masyarakatnya. Pada sisi pandang ini, wanita mengerjakan peran ekstra bersama pria untuk menunaikan perintah Allah: mewujudkan bangunan Islam. Sungguh mereka membagi potensi mereka untuk dua peran: pembentuk karakter dan kecerdasan dan penggiat dakwah.

Bila saya dalam posisi yang bisa menentukan, saya akan memilih mendorong wanita untuk segera mendampingi generasi penerus dan membebankan sisa tugas yang tersisa pada rekan pria lainnya, termasuk saya. Pun dalam posisi itu, dia akan tetap menerima haknya secara penuh. Soal kemudian sang ayah juga merasakan 'manfaat pendampingan' tersebut, itu adalah rejekinya.

Ini tidak ada hubungannya dengan profesionalisme. Dengan berlaku demikian, mereka tetaplah seorang profesional. Kita sedang berjuang, dan mereka pada waktu tertentu lebih dibutuhkan ditempat lain. Soal setumpuk pekerjaan yang kemudian tersisa, tenang saja, Allah ada disamping kita. Maksudnya bila kita ikhlas dan bersungguh-sungguh, akan ada jalannya.

Saya pikir tidak akan ada gunanya ketika kita berhasil mendirikan benteng yang sangat kuat dan indah, tapi kemudian kita menemukan generasi penerus kita, mereka yang akan memanfaatkan bangunan itu, justru tidak memiliki karakter yang diperlukan untuk berjuang.

Rekan saya nampaknya memahami sisi pandang saya.

Ketika bertanya bagaimana meyakinkan 'boss' dan rekan-rekannya soal itu, jawab saya semua itu adalah proses. Yang diperlukan adalah contoh. Kita bisa istiqamah dengan pandangan itu dan istiqamah membantu pekerjaannya yang tidak selesai agar semua yakin bahwa pendekatan itu memang bisa dilakukan.

Bagaimana dengan keluarga para pria, anak-anaknya? Saya pikir kita cuma harus nambah 1-2 jam saja dari aktivitas kita. Lagi pula Allah bukanlah manusia yang berfikir parsial. Ia akan mendidik keluarga kita pada saat kita bersungguh-sungguh membela agamaNya, Ia sudah mempersiapkan semuanya untuk kita, utuh dan lengkap.

Terakhir karena sudah mulai pagi, saya mengajak dia untuk mulai mendidik diri kami, saya dan dia, untuk melepas kepulangan mujahiddah kami dengan senyum dan perasaan bangga. Mulai mendidik pikiran kami bahwa setibanya dirumah, mujahiddah kami tidaklah beristirahat. Ia sedang berjuang dimedan pertempuran yang lain, perjuangan yang Allah titipkan khusus kepada kaumnya saja, termasuk istri-istri kami.

Batam, Juni 2008