Gusti,
Malam ini aku masih terjaga
Tertahan gelisah
Menatap pintu-pintu tertutup
Mencari kesempatan
Mewujudkan impian membangunkan jiwa-jiwa tertidur
Dibuai kegagalan demi kegagalan
Gusti,
Ditanganku tergenggam
Berjuta harapan keberhasilan
Agar barisan tersusun ulang
Dan kerja besar dapat diteruskan
Gusti,
Malam ini aku masih terjaga
Karena percikan RahmatMu
Terkirim dalam pesan sederhana
Berisikan harapan
Agar aku tak pernah mengabaikan lagi
Sejuk rengkuhan tanganMu
Pada kalbu yang senantiasa gelisah
Menunggu akan datangnya hari
Kebenaran janji-janjiMu
Lembutkanlah tangannya
Agar keturunannya menjadi lelaki penyabar
Dalam berjalan mencari cahayaMu
Lembutkan hatinya
Agar suaminya menemukan labuhan
Dari letih menegakkan namaMu
Lembutkan tuturnya
Agar kami temukan keindahan
Dalam untaian kalimat penuh hikmahMu
Friday, March 20, 2009
Sunday, March 8, 2009
Mujahidah
Beberapa hari lalu saya chatting dengan seorang rekan dari tanah sebrang. Ia seorang aktivis sosial seperti saya. Kami diskusi mulai dari kerjaan sampai keluarga, dari mimpi-mimpi yang kita dulu sampai kasus Muchdi PR. Yang paling panjang dibahas adalah posisi 'aktivis wanita', yang katanya sempet jadi bahan diskusi panjang dilingkungan kerjanya.
Masalahnya adalah: ketika sudah menikah dan memiliki putra, rekannya cenderung agak sulit bergerak bebas. Sementara pekerjaan yang mereka geluti itu gak pernah berhenti. Belakangan ini mereka agak keteteran. Serba salah, satu sisi potensi dan skill-nya masih belum selesai ditransfer, sementara cute little baby dan 'cute little baby's father' juga perlu 'pendampingan'.
Butuh waktu yang lama sebelum bisa menguraikan pandangan saya.
Saya kemudian mencoba mengajak dia kembali ke konsepsi awal. Bangunan Islam itu berdiri dengan masyarakat sebagai pijakannya. Masyarakat sendiri akarnya ada di keluarga. Jadi keluarga adalah pondasi Islam. Sedemikian strategis peranan keluarga, hingga Islam mengizinkan hukuman 'paling sadis' dalam sejarah manusia: rajam bagi penzina. Semua karena zina benar-benar tidak menyisakan apapun bagi keluarga kecuali kehancuran.
Dalam keluarga, peran ayah dan ibu berbeda. Ayah sebagai penopang keluarga, ibu sebagai pembentuk karakter terutama anak pada usia -0.5 tahun s/d 13-an tahun. Saya jelaskan bahwa saya pernah membaca jurnal penelitian psikologi yang menyebutkan karakter dan kecerdasan (sosial, intelektual dlsb) seseorang pada masa-masa golden age, 45 thn-an, sangat dipengaruhi input yang diterima dari usia 0 - 10 tahun. Luar biasanya, pada usia 0-10 tahun itu, ternyata peran ibu sangat-sangat-sangat-sangat dominan.
Peran wanita (memang) krusial dalam Islam. Jadi adalah dipahami mengapa Islam 'cenderung' mendorong wanita untuk 'stay home for certain period'. Itu tidak ada hubungan dengan penghormatan pada wanita, pada kesetaraan gender, pada kesempatan yang sama. Tapi dorongan itu untuk pemenuhan fungsi yang tidak mungkin dimainkan oleh laki-laki secara sempurna.
Bagaimana dengan wanita yang berkarier, termasuk rekan aktivis tersebut? Menurut saya pribadi, itulah keunggulan wanita. Selain karena alasan ekonomi, mereka memahami bahwa ada potensi lain yang Allah titipkan yang dapat bermanfaat bila 'dibagikan' kepada masyarakatnya. Pada sisi pandang ini, wanita mengerjakan peran ekstra bersama pria untuk menunaikan perintah Allah: mewujudkan bangunan Islam. Sungguh mereka membagi potensi mereka untuk dua peran: pembentuk karakter dan kecerdasan dan penggiat dakwah.
Bila saya dalam posisi yang bisa menentukan, saya akan memilih mendorong wanita untuk segera mendampingi generasi penerus dan membebankan sisa tugas yang tersisa pada rekan pria lainnya, termasuk saya. Pun dalam posisi itu, dia akan tetap menerima haknya secara penuh. Soal kemudian sang ayah juga merasakan 'manfaat pendampingan' tersebut, itu adalah rejekinya.
Ini tidak ada hubungannya dengan profesionalisme. Dengan berlaku demikian, mereka tetaplah seorang profesional. Kita sedang berjuang, dan mereka pada waktu tertentu lebih dibutuhkan ditempat lain. Soal setumpuk pekerjaan yang kemudian tersisa, tenang saja, Allah ada disamping kita. Maksudnya bila kita ikhlas dan bersungguh-sungguh, akan ada jalannya.
Saya pikir tidak akan ada gunanya ketika kita berhasil mendirikan benteng yang sangat kuat dan indah, tapi kemudian kita menemukan generasi penerus kita, mereka yang akan memanfaatkan bangunan itu, justru tidak memiliki karakter yang diperlukan untuk berjuang.
Rekan saya nampaknya memahami sisi pandang saya.
Ketika bertanya bagaimana meyakinkan 'boss' dan rekan-rekannya soal itu, jawab saya semua itu adalah proses. Yang diperlukan adalah contoh. Kita bisa istiqamah dengan pandangan itu dan istiqamah membantu pekerjaannya yang tidak selesai agar semua yakin bahwa pendekatan itu memang bisa dilakukan.
Bagaimana dengan keluarga para pria, anak-anaknya? Saya pikir kita cuma harus nambah 1-2 jam saja dari aktivitas kita. Lagi pula Allah bukanlah manusia yang berfikir parsial. Ia akan mendidik keluarga kita pada saat kita bersungguh-sungguh membela agamaNya, Ia sudah mempersiapkan semuanya untuk kita, utuh dan lengkap.
Terakhir karena sudah mulai pagi, saya mengajak dia untuk mulai mendidik diri kami, saya dan dia, untuk melepas kepulangan mujahiddah kami dengan senyum dan perasaan bangga. Mulai mendidik pikiran kami bahwa setibanya dirumah, mujahiddah kami tidaklah beristirahat. Ia sedang berjuang dimedan pertempuran yang lain, perjuangan yang Allah titipkan khusus kepada kaumnya saja, termasuk istri-istri kami.
Batam, Juni 2008
Masalahnya adalah: ketika sudah menikah dan memiliki putra, rekannya cenderung agak sulit bergerak bebas. Sementara pekerjaan yang mereka geluti itu gak pernah berhenti. Belakangan ini mereka agak keteteran. Serba salah, satu sisi potensi dan skill-nya masih belum selesai ditransfer, sementara cute little baby dan 'cute little baby's father' juga perlu 'pendampingan'.
Butuh waktu yang lama sebelum bisa menguraikan pandangan saya.
Saya kemudian mencoba mengajak dia kembali ke konsepsi awal. Bangunan Islam itu berdiri dengan masyarakat sebagai pijakannya. Masyarakat sendiri akarnya ada di keluarga. Jadi keluarga adalah pondasi Islam. Sedemikian strategis peranan keluarga, hingga Islam mengizinkan hukuman 'paling sadis' dalam sejarah manusia: rajam bagi penzina. Semua karena zina benar-benar tidak menyisakan apapun bagi keluarga kecuali kehancuran.
Dalam keluarga, peran ayah dan ibu berbeda. Ayah sebagai penopang keluarga, ibu sebagai pembentuk karakter terutama anak pada usia -0.5 tahun s/d 13-an tahun. Saya jelaskan bahwa saya pernah membaca jurnal penelitian psikologi yang menyebutkan karakter dan kecerdasan (sosial, intelektual dlsb) seseorang pada masa-masa golden age, 45 thn-an, sangat dipengaruhi input yang diterima dari usia 0 - 10 tahun. Luar biasanya, pada usia 0-10 tahun itu, ternyata peran ibu sangat-sangat-sangat-sangat dominan.
Peran wanita (memang) krusial dalam Islam. Jadi adalah dipahami mengapa Islam 'cenderung' mendorong wanita untuk 'stay home for certain period'. Itu tidak ada hubungan dengan penghormatan pada wanita, pada kesetaraan gender, pada kesempatan yang sama. Tapi dorongan itu untuk pemenuhan fungsi yang tidak mungkin dimainkan oleh laki-laki secara sempurna.
Bagaimana dengan wanita yang berkarier, termasuk rekan aktivis tersebut? Menurut saya pribadi, itulah keunggulan wanita. Selain karena alasan ekonomi, mereka memahami bahwa ada potensi lain yang Allah titipkan yang dapat bermanfaat bila 'dibagikan' kepada masyarakatnya. Pada sisi pandang ini, wanita mengerjakan peran ekstra bersama pria untuk menunaikan perintah Allah: mewujudkan bangunan Islam. Sungguh mereka membagi potensi mereka untuk dua peran: pembentuk karakter dan kecerdasan dan penggiat dakwah.
Bila saya dalam posisi yang bisa menentukan, saya akan memilih mendorong wanita untuk segera mendampingi generasi penerus dan membebankan sisa tugas yang tersisa pada rekan pria lainnya, termasuk saya. Pun dalam posisi itu, dia akan tetap menerima haknya secara penuh. Soal kemudian sang ayah juga merasakan 'manfaat pendampingan' tersebut, itu adalah rejekinya.
Ini tidak ada hubungannya dengan profesionalisme. Dengan berlaku demikian, mereka tetaplah seorang profesional. Kita sedang berjuang, dan mereka pada waktu tertentu lebih dibutuhkan ditempat lain. Soal setumpuk pekerjaan yang kemudian tersisa, tenang saja, Allah ada disamping kita. Maksudnya bila kita ikhlas dan bersungguh-sungguh, akan ada jalannya.
Saya pikir tidak akan ada gunanya ketika kita berhasil mendirikan benteng yang sangat kuat dan indah, tapi kemudian kita menemukan generasi penerus kita, mereka yang akan memanfaatkan bangunan itu, justru tidak memiliki karakter yang diperlukan untuk berjuang.
Rekan saya nampaknya memahami sisi pandang saya.
Ketika bertanya bagaimana meyakinkan 'boss' dan rekan-rekannya soal itu, jawab saya semua itu adalah proses. Yang diperlukan adalah contoh. Kita bisa istiqamah dengan pandangan itu dan istiqamah membantu pekerjaannya yang tidak selesai agar semua yakin bahwa pendekatan itu memang bisa dilakukan.
Bagaimana dengan keluarga para pria, anak-anaknya? Saya pikir kita cuma harus nambah 1-2 jam saja dari aktivitas kita. Lagi pula Allah bukanlah manusia yang berfikir parsial. Ia akan mendidik keluarga kita pada saat kita bersungguh-sungguh membela agamaNya, Ia sudah mempersiapkan semuanya untuk kita, utuh dan lengkap.
Terakhir karena sudah mulai pagi, saya mengajak dia untuk mulai mendidik diri kami, saya dan dia, untuk melepas kepulangan mujahiddah kami dengan senyum dan perasaan bangga. Mulai mendidik pikiran kami bahwa setibanya dirumah, mujahiddah kami tidaklah beristirahat. Ia sedang berjuang dimedan pertempuran yang lain, perjuangan yang Allah titipkan khusus kepada kaumnya saja, termasuk istri-istri kami.
Batam, Juni 2008
Labbaika ...
Ya Allah,
Inilah hamba datang
Berlari menyeret dosa dan keingkaran
Terengah-engah diantara kegelisahan
Bahwa Engku akan meninggalkanku
Dijalan gelap penuh debu
Labbaika Allahumma Labbaik
Aku dengar panggilanMu
Bagi hamba-hamba yang berserah diri
Inilah aku datang
Berharap dapat bersama
Golongan ahli syukur
Yang tengah berbondong-bondong
Berjalan bercengkerama
Memasuki cahayaMu
Inilah hamba datang
Berlari menyeret dosa dan keingkaran
Terengah-engah diantara kegelisahan
Bahwa Engku akan meninggalkanku
Dijalan gelap penuh debu
Labbaika Allahumma Labbaik
Aku dengar panggilanMu
Bagi hamba-hamba yang berserah diri
Inilah aku datang
Berharap dapat bersama
Golongan ahli syukur
Yang tengah berbondong-bondong
Berjalan bercengkerama
Memasuki cahayaMu
Wednesday, March 4, 2009
Izinkan aku Menjadi Sebab
Duhai Pemilik Dunia,
Telah datang kepadaku,
Kasih SayangMu dalam bentuk yang mengguncangkan
Mengusik keasyikan berkhalwat dengan dunia
Tentang bibit kesempitan yang aku sebar dahulu
Yang mungkin telah tumbuh menjadi belukar kegalauan
Duhai Pemilik Jiwa,
Aku bukanlah orang suci,
Yang tak tergoda oleh syahwat dunia
Yang tak tak semuanya pernah aku akui di hadapanMu dulu
Duhai Maha Penyayang,
Kini aku bersungguh dalam duniaku
Menebar rahmatMu dalam bentuk yang aku tahu
Dalam tarian diantara pintu-pintu rahasiaMu
Memandang padang amal tanpa batas
Didekapan hangat dhuafaMu
Duhai Pemilik Ampunan,
Ampuni kakiku, tanganku, mulutku, hidungku, mataku, lidahku
Ampuni kalbuku, semaikan sanubariku
Teguhkan langkahku, kukuhkan azamku
Yaa Maajid,
Begitu banyak karuniaMu
Begitu sedikit syukurku
Begitu luas samudera ampunanMu
Begitu sedikit taubatku
Bilalah tiba saat hisabku
Aku terima semua
Sebagai pedosa yang berharap senyumMu
Ambillah apa yang Engkau inginkan,
Karena telah aku bersaksi mereka milikMu
Namun jangan Engkau tahan
Karunia bagi dhuafaMu
Disebab dosa-dosaku
Jadikan aku apapun,
Karena Engkau yang Maha Tahu
Namun jangan engkau tahan
Kecukupan bagi dhuafaMu
Disebab keingkaranku
Ya Allah
Sesungguhnya hidupku, matiku telah kuserahkan kepadaMu
Izinkan aku menjadi sebab
Tersebarnya sebagian RizkiMu
Pada dhuafaMu
Telah datang kepadaku,
Kasih SayangMu dalam bentuk yang mengguncangkan
Mengusik keasyikan berkhalwat dengan dunia
Tentang bibit kesempitan yang aku sebar dahulu
Yang mungkin telah tumbuh menjadi belukar kegalauan
Duhai Pemilik Jiwa,
Aku bukanlah orang suci,
Yang tak tergoda oleh syahwat dunia
Yang tak tak semuanya pernah aku akui di hadapanMu dulu
Duhai Maha Penyayang,
Kini aku bersungguh dalam duniaku
Menebar rahmatMu dalam bentuk yang aku tahu
Dalam tarian diantara pintu-pintu rahasiaMu
Memandang padang amal tanpa batas
Didekapan hangat dhuafaMu
Duhai Pemilik Ampunan,
Ampuni kakiku, tanganku, mulutku, hidungku, mataku, lidahku
Ampuni kalbuku, semaikan sanubariku
Teguhkan langkahku, kukuhkan azamku
Yaa Maajid,
Begitu banyak karuniaMu
Begitu sedikit syukurku
Begitu luas samudera ampunanMu
Begitu sedikit taubatku
Bilalah tiba saat hisabku
Aku terima semua
Sebagai pedosa yang berharap senyumMu
Ambillah apa yang Engkau inginkan,
Karena telah aku bersaksi mereka milikMu
Namun jangan Engkau tahan
Karunia bagi dhuafaMu
Disebab dosa-dosaku
Jadikan aku apapun,
Karena Engkau yang Maha Tahu
Namun jangan engkau tahan
Kecukupan bagi dhuafaMu
Disebab keingkaranku
Ya Allah
Sesungguhnya hidupku, matiku telah kuserahkan kepadaMu
Izinkan aku menjadi sebab
Tersebarnya sebagian RizkiMu
Pada dhuafaMu
Subscribe to:
Posts (Atom)